Sebuah Kerinduan pada "Cinta itu Salib" Yosman Seran
Love is that liquor sweet and most divine,
Which my God feels as blood; but I, as wine.
The
Agony, George Herbert
Cinta yang Tak Wajar
Ironi
dan paradoks adalah permainan makna di dalam puisi. Dua hal inilah yang tampak
jelas ketika membaca puisi-puisi Yosman Seran.
Hal yang bermakna indah, dituliskan dengan begitu mengerikan, atau
sebaliknya. Sebutlah yang berikut ini; ibu,
di matamu kutemukan tuhanku // terbaring kaku dan beku (Ada Tuhan di Matamu), atau yang ini; cantik itu salib // tempat air mata meleret
menjerit (Cantik itu Salib), dan
masih banyak lagi yang seperti itu di dalam puisi-puisi Yosman Seran dalam
kumpulan puisinya yang bertajuk Cantik
itu Salib ini.
Agaknya,
hal-hal ironis dan paradoks itu dimulakan dari puisi pertama yang berjudul Orang Gila, karena tanpa kegilaan maka
sesuatu akan dipandang selalu selaras. Gila dalam tulisan ini sebetulnya
bermakna sangat positif, apalagi dalam puisi itu secara gamblang dikatakan “mencintaimu adalah pekerjaan orang gila.”
Gila karena cinta, atau gila dalam mencinta. Pada titik ini, sangat mudah untuk
mengaitkan dengan cerita Laila Majnun. Betapa mencintai seseorang atau sesuatu
bisa membuat orang itu, si pecinta itu disebut sebagai orang gila atau tidak
waras. Atau dalam bahasan ini adalah selalu membuat perbandingan yang terasa
tidak selaras.
Namun,
itulah cinta. Cinta selalu menuntut secara berlebih. Cinta tidak mau yang
wajar-wajar saja. Bahkan dalam bahasa kitab suci dikatakan, yang suam-suam kuku
akan dimuntahkan! Cinta harus diwujudkan dengan perkara-perkara besar. Sebesar
Baleo atau lebih besar daripadanya. Ketakwarasan adalah jalan pecinta. Tidak
peduli pada “pangkuan yang berdebu”
atau merasa diri bagai batu yang ditinggalkan aliran air di sungai, atau bahkan
dianggap sebagai “pejalan tak berujung.”
Cinta,
adalah sesuatu yang luar biasa yang harus diraih dengan cara yang luar biasa
pula. Mungkin inilah benang merah dari beragam puisi pada kumpulan Cantik itu
Salib karya Yosman Seran ini.
Bukan Wisata, tapi Mencari Makna
Hal
lain yang bisa diangkat dari kumpulan puisi Cantik itu Salib ini adalah
perjalanan mencari makna dalam kehidupan yang diambil dari senarai pengalaman
di Nusa Tenggara Timur. Bagaimana Yosman Seran memaknai penangkapan paus di
Lamalera yang dikenal dengan nama Baleo, bagaimana memandang langit dusun
Flobamora, atau mencari sesuatu dari Danau Kelimutu, atau Bukit Sasa. Namun
bisa juga hanya dari dalam biara.
Imaji-imaji
yang kaya tentu akan membangkitkan indera pembaca untuk bisa menerka seperti
apa rasanya ada di semua tempat yang Yosman Seran gambarkan dalam puisi-puisi
itu. Namun hal itu tidaklah lebih penting daripada suara yang ingin disampaikan
oleh Yosman Seran melalui puisi-puisinya. Seperti dalam puisi Suara dari Dalam Biara ini; padamu tak ada kata // yang kususun jadi
bahasa. yang ada hanyalah // rasa yang kususun jadi rindu.
Kerinduan
adalah bahasa para pecinta. Pertanyaan selanjutnya adalah kepada siapa rindu
itu ditujukan, apakah kepada seorang kekasih? Orang tua? Saudara? Tuhan,
bahkan? Ada sedikit petunjuk dalam puisi Ibu Purba, yaitu; dunia // adalah ibu purba // yang melahirkan perjumpaan-perjumpaan.
Dengan
puisi-puisinya ini, Yosman Seran tengah berupaya untuk menyapa dunia ini.
Begitulah hasil amatan sederhana ini. Lantas, pertanyaan selanjutnya, siapkah
dunia menerima penyair baru dari Indonesia? Tentu, hal ini akan terjawab jika
dan hanya jika buku puisi Cantik itu
Salib ini sudah sampai pada majelis pembaca sekalian.
Komentar