Penyair sebagai Saksi dan/ atau Puisi Sebagai Kesaksian - Ulasan Buku "Nanas Kerang Ungu" Ferdi Afrar



A.    Penyair sebagai Saksi

Carolyn Forche – ketika membahas puisi-puisi Miklós Radnóti, seorang penyair Hongaria yang dieksekusi dalam peristiwa Holocaust – menyatakan bahwa puisi adalah catatan pengalaman sekaligus penguatan dalam kerinduan atau keputusasaan, bukan sebuah jerit tangis mencari simpati, tetapi lebih seperti panggilan untuk kekuatan diri. Ketika membaca, puisi-puisi yang disodorkan Ferdi Afrar, ingatan akan pengertian puisi sebagai kesaksian itu berulang. Apalagi, ketika bertemu dengan puisi berjudul Pengabar, yang saya nukilkan sebagian;

kami rajin mengusap kaca jendela
dari sisa embun agar tak ada yang rabun
dari debu agar tak ada yang meragu
agar tak ada yang luput dari kekuatiran.

pada kordennya kami lubangi,
dengan hati-hati kami kucur-kacirkan
air mata, untuk menyambutmu.

Meskipun puisi di atas tidak menceritakan suatu peristiwa atau kejadian, dan malah berpusat pada aku lirik yang sedang melakukan tugasnya, tapi hal ini justru seolah mempertegas posisi penyair dan puisi-puisinya adalah sebagai penyaksi dan kesaksiannya. Sebagai penyaji kisah dan kisah-kisah yang disajikan. Satu puisi yang kebetulan bersingungan dengan suatu kesaksian atau penyaksi adalah Sri Rejeki, yang menceritakan mengenai tanaman hias sedang layu.

Perspektif adalah teknik yang paling banyak digunakan oleh Ferdi Afrar dalam menuliskan kumpulan puisinya ini. Ia membayangkan dirinya sebagai Pelor (peluru), Surai, Nanas Kerang Ungu, Tapak Liman, Sambiloto, Pepaya, Sari Sirsak, Poh Golek, dan lainnya. Ferdi Afrar menjelaskan dengan detail sebagai upaya keluar-masuk dari obyek yang dia saksikan itu agar pembaca bisa mengalami suatu hubungan yang dibangun oleh puisi semacam itu. Hubungan yang mungkin semacam rasa mengasihi seperti – berkelana mesra hingga subuh bercahaya (Pembiak Kata), atau seperti sebuah keiklasan – semua akan kembali seperti sediakala (Sepoi).

Secara umum, puisi-puisi Ferdi Afrar dalam kumpulan puisi ini bisa dipilah menjadi yang menyebut tetumbuhan (atau buah/tanaman obat) dan ragam hal lainnya. Ketika membahas tetumbuhan, penginderaan seperti batang gilig (Wedusan), pucuk biru ungu (Tapak Liman), gerumbul penusuk (Nanas Kerang Ungu), seolah memang penyair menyampaikan apa yang terlihat kepada pembaca. Sedangkan untuk hal lainnya, Ferdi Afrar lebih mengemukakan peristiwa, semisal – menangkap lauk peneman makan siang kami / bersama handai tolan (Menangkap Mujair), atau – demikian aku digulingkan, diperlonggar-dipersempit / dibangkitkan dari pengap (Menjemur Jagung), selain ada juga perasaan aku lirik yang mengemuka seperti -- aku seperti pecahan kayu / yang terombang-ambing seteru / yang bersekutu dalam gejolak (Di Kali Jambe). Hal ini menunjukkan bahwa Ferdi Afrar selain menyaksikan dan menyampaikan, ia juga turut menggali perasaan atau berempati pada peristiwa yang terjadi dan pada akhirnya mencetuskan suatu sikap atas peristiwa itu, meskipun, peristiwa atau hal yang ada dalam kumpulan puisi ini belum bisa dikatakan sesuatu yang besar.

Namun, inilah puisi! Hal yang kecil bisa digunakan untuk menyoal sesuatu yang lebih besar, atau sebaliknya malah membuat sederhana hal yang besar itu, dan itulah bahasa puisi yang oleh Karl Elder dikatakan berasal dari pengalaman manusia (penyairnya), permainan peran yang dilakukannya saat ia menuliskan, pertautan dengan apa saja yang bisa ia temukan dari hal yang memantik terjadinya puisi itu, dan emosi yang ia rasakan untuk selanjutnya bisa menimbulkan atau memancing perasaan orang lain (pembacanya). Terlebih subyek atau obyek dalam puisi biasanya adalah metafora dari hal-hal lainnya, maka bisa dikatakan bukan peristiwa atau hal yang disaksikan tapi bagaimana penyair cara menyampaikan atau bersaksi, supaya timbul pengesanan, perasaan baru dari peristiwa atau hal tersebut.

B.    Puisi sebagai Kesaksian

Jika suatu peristiwa disampaikan dengan baik oleh seorang saksi, tentu yang diharapkan adalah respon dari kita yang mendengarkan atau membaca pemaparan itu. Yakinkah bahwa segala sesuatu bertalian erat? Atau puisi adalah sesuatu yang bisa muncul dan menjadi pada peristiwa apa saja yang entah untuk mengingatkan kita pada hal lainnya? Mari kita simak puisi berjudul Sari Sirsak ini;

Sari Sirsak

aku adalah muslihat, sekantung ranjau
dengan duri selimutku, aku purba.
kemudian ledakan membikin aku menjadi
selaput putih-gajih terpencar dalam putaran,
terlapur bedak gula hanyut di liang getar.
kemudian aku menilas liur lidahnya,
dan aku adalah mula gigil yang bersekutu
dalam rongga antara tulang pipi dan geraham
yang gemeretak. aku adalah kejutan-kejutan dalam
semangkuk sup, dan aku yang menghasut sirup,
menyamarkan kuah susu, dan membuat aku seperti
saputangan basah terdesak arus. aku adalah
kabut antara apel, pir, dan semangka. aku gelembung
yang ditimbulkan percikan batu es dan soda. aku adalah
jagat yang terbentang antara adukan sendok dan keloneng
mangkok. aku adalah seseorang yang tiba-tiba terperanjat
dan takut, siapa gerangan yang menyodok-nyodok
di batang mulut.

Sumokali, 2016

Aku lirik dalam puisi ini begitu lihai keluar-masuk dari aneka hal – mulai dari buah sirsak (sekantung ranjau dengan duri selimut – sirsak punya duri di kulitnya, pen.) meski ia juga peristiwa itu sendiri (selaput putih-gajih terpencar dalam putaran), juga peristiwa lain (mula gigil yang bersekutu...) dan seterusnya. Aku lirik di dalam puisi sini berkelindan antara benda dan peristiwa, dan sekaligus (pada akhirnya) puncak peristiwa (seseorang yang tiba-tiba terperanjat dan takut, siapa gerangan yang menyodok-nyodok di batang mulut), hingga menimbulkan kesimpulan – Yang sebenarnya bersaksi di sana adalah puisi itu sendiri. Bukan penyairnya.

Sebagai kesaksian, peristiwa di dalam puisi itu haruslah nyata. Entah berawal dari imajinasi atau kejadian sebenarnya. Nyata di sini adalah terindera sempurna meskipun peristiwa itu terjadi karena bahasa puisi yang tidak nyata. Misalkan seperti dalam puisi Miklós Radnóti yang berjudul I Live Upon This Earth In Such An Age yang dikutip sedikit dari bagian I. Letter to My Wife berikut;

I shall transmit myself through falling
live flames or crimson coals to conquer the distance

Aku lirik dalam penggalan puisi di atas telah menjadi pijar yang hidup atau bara yang merah yang mengalahkan jarak, sesuatu yang bisa diindera karena ada sesuatu berpijar, berwarna merah, sama seperti larik penutup dalam puisi Genting Ikan Ketingmelambungkanku ke udara / menghamburkanku kembali pada tanah – yang bisa dirasakan sebagai suatu gerakan dan akibatnya. Dengan “kebenaran” yang dikandung, maka puisi akan sampai sebagai kesaksian. Hal yang sama yang di-lihat oleh penyair akan di-lihat pula oleh pembaca. Keberhasilan yang pertama dari puisi adalah hal seperti itu dulu. Soal respon atau penerimaan, tentu akan berbeda sesuai imajinasi pembaca terhadap peristiwa yang berhasil ia lihat itu.

Singkatnya, apakah penyair hanya menjadi saksi atau puisi adalah sebuah kesaksian itu sendiri akan sangat tergantung dari keberhasilan penyair mentransmisikan penginderaan terhadap peristiwa atau imaji pemantik terjadinya puisi itu sendiri. Melalui kumpulan puisinya ini, Ferdi Afrar ingin menunjukkan kelihaian itu pada kita pembacanya.  Dan kita sebagai pembaca mendapat kewenangan penuh untuk menilainya sebab seperti dalam puisi Kobra, Ferdi Afrar mengatakan, aku pasrah menerima dua kuncup cucupmu yang libas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan-Pesan Subliminal dan Penyair Sebagai Medium

Malaikat Cacat