Memberi Gambar pada Kesunyian - Membaca Buku Puisi Muzammil Frasdia "Hikayat Sunyi"
A. Sunyi yang Tak Semata Kosong
Ini sepi masih kutemani, Sayang
Dan terus menulis sajak tentangmu
Sekalipun tubuh mau remuk
Menahan dera sakit yang menyergap pinggangku
(Rumah Gubuk)
Petikan puisi di atas adalah karya Muzammil Frasdia yang
ingin saya jadikan petunjuk untuk memasuki dunia kesunyian dalam aku lirik
penyairnya melalui buku puisi yang secara terang-terangan (melalui judul
bukunya, Hikayat Sunyi) akan mengajak majelis pembaca berakrab-akrab dengan
(apa yang banyak dituliskan dalam buku ini) sunyi. Sunyi – selain berarti
kosong, nir bebunyian, atau ketiadaan interaksi – juga berarti kebebasan,
menurut kamus, sedangkan sepi selain sinonim dengan sunyi, juga menyatakan
pertanyaan terhadap eksistensi, yang tidak hanya menyasar pihak lain tetapi
juga menuju pada diri sendiri. Bisa diasumsikan, melalui Hikayat Sunyi ini,
Muzzammil Frasdia hendak mengutarakan beragam versi ataupun sisi dari kata yang
disebut “sunyi” ini.
Di tangan Muzammil Frasdia, sunyi bisa dilihat seperti
segelas kopi, dirasakan seperti angin, dipandang serupa rumah gubuk, rumah
batu, atau kuburan. Kesunyian juga sesuatu yang bisa dikabarkan sebagaimana
suasana, sebuah kerja, atau gambar/ potret (dari) kesedihan. Dan sebagai itu
semua, sunyi punya efek terhadap diri dan lingkungan sekitarnya. Dalam puisi Potret Kesedihan misalnya, dikatakan
“Gigilnya suasana kesendirianku // Suara kematian serasa begitu semakin merayu
// Dekat memelukku,” yang bisa dipahami bahwa salah satu hal yang terjadi atau
mengiringi kesunyian adalah lekatnya ia dengan (peristiwa, atau kenangan akan)
kematian. Yang paling umum, seperti pada puisi Labirin Sujud Burung adalah kesunyian akan “memperdengarkan
kekosongan.”
Bermacam-macam tawaran terjadi di sini
Di pantai sepi kesendirianku
Mulai dari jiwaku yang berkehendak membangun jarak
Menjauh dari tikaman matamu
Sampai parfum perempuan
Yang senyumnya menawarkan kesetiaan
Namun dalam angan masih menggariskan kecurigaan
(Seperti Daun)
Tarik ulur berbagai macam hal akan selalu berkelindan
pada sunyi yang dituliskan Muzammil Frasdia dalam buku puisinya ini. Sehingga
sunyi di dalam buku ini bukanlah kekosongan, bukan hal yang suwung, tapi malah
penuh berisi. Mungkin justru berisik. Sunyi yang bawel, kalau boleh disebut
demikian. Sunyi yang justru menyoal bermacam hal dengan detail. Sehingga tak
heran, puisi-puisi dalam buku ini rata-rata cukup panjang. Hanya ada dua sajak
yang begitu pendek (hanya satu larik saja) yaitu Kuburan, dan Rumah Batu.
Dua sajak pendek yang hanya satu larik itu, memperlakukan
sunyi dan diam memang sebagai hal yang berbeda, di mana “sunyi”, dalam puisi
Kuburan dianggap sebagai benda yang punya ujung, dapat dimiliki, dan punya
akhir. Sedangkan dalam puisi Rumah Batu, “diam” dijadikan semacam alat dalam
suatu pekerjaan (menempa) dan bukan pekerjaan itu sendiri.
Memandang dua hal itu, bisa ditarik benang merah sunyi
atau diam adalah sesuatu yang berkelindan tetapi tidak samar melainkan penuh
tenaga atau bentuk. Sunyi dalam puisi-puisi Muzammil Frasdia kali ini justru
bagian yang begitu menonjol untuk diungkapkan, sehingga sesuai secara tematik
dengan judul buku puisi ini Hikayat Sunyi.
B. Hikayat yang Bukan Dongeng
Sesuatu dinamakan sebagai hikayat tentulah ada
tujuannya, baik sebagai pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar
untuk meramaikan pesta. Paling tidak, memberi penghiburan bagi diri sendiri.
Seperti petikan puisi Rumah Gubuk, di mana aku lirik hampir remuk, tapi ia
masih berupaya untuk menemani sepi dengan menulis puisi, atau seperti dalam
puisi Percakapan Sehabis Hujan;
Lalu sunyi yang menyendiri gigil bersandar pada pintu
Dingin merayap, merajai udara dan hantu
Doa-doa yang pernah kupanjatkan
Kukutuk dengan air mata diam-diam
Muzammil Frasdia menghidupkan di dalam puisi-puisinya
ini, kata “sunyi.” Di mana sunyi dianggap sebagai sesuatu yang bisa menyendiri,
menggigil, dan bersandar, bahkan “sunyi” bisa melengkung di sebuah alis.
Sebuah hikayat, selain sebuah cerita, juga mengandung
kronologis peristiwa. Hal ini Nampak pada puisi-puisi seperti Danau, Ranu Kumbolo, Kolam, dan lainnya.
Dalam tubuh puisi-puisi tersebut, dapat dinikmati pergeseran peristiwa, dari
paparan satu tempat, lalu bergeser sampai pada permenungan aku lirik terhadap
suatu tempat. Secara umum, sebagian besar puisi-puisi Muzammil Frasdia dalam
kumpulan ini bisa diwakili gaya bertuturnya seperti pada puisi Langit berikut ini;
Langit
Hujan itu kembali hadir
Suaranya serak seperti batu kerikil
Yang sengaja ditimbun langit
Ke arah lobang telinga kita
Sedang di atas bumi yang basah
Daun-daun terlunta bahkan ada yang meninggal
Karena tak sanggup memeras percakapannya
Lalu sekejap aku merebah dan beranjak
Memangkas sunyi dari jendela
Melihat wajah langit yang tiada guna
Dijadikan tempat berkeluh dan berdoa
Kepada kita: adakah ulah yang salah di sana?
Arosbaya, Desember 2016
Gaya naratif yang diakhiri dengan suatu (ajakan)
permenungan terasa mendominasi dalam kumpulan puisi ini. Tidak murni bercerita
seperti membuat suatu dongengan, mungkin inilah alasan mengapa kata “hikayat”
dipilih alih-alih dongeng atau cerita sebagai judul kumpulan puisi ini. Meski
kadangkala, permenungan di akhir puisi bisa saja berubah menjadi sesuatu yang
malah menunjukkan tanda-tanda kekosongan, seperti pada puisi Hujan Belum Berhenti;
Bersama binar matamu
Selalu membuatku putus asa memandang dunia
Dunia yang entah mencarimu ke mana
C. Memberi Gambar pada Kesunyian
Selain menyatakan bahwa sunyi itu sesuatu yang berisi,
dan menyampaikannya seperti bercerita, yang jelas kumpulan puisi yang diberi
tajuk Hikayat Sunyi ini adalah suatu upaya dari Muzammil Frasdia untuk
memberontak dari keadaan sekelilingnya, meskipun baru sebatas mengabarkan;
Sawah adalah harapan juga sebuah wajah penderitaan.
(Sawah)
atau menggambarkan;
Pada kenyataannya, kaulah wujud-wujud asli sepi itu
yang menyala-
nyala di otakku
(Dalam Sunyi Aku Bertanya Kepadamu)
Paling jauh, Muzammil Frasdia mencoba mengatakan
melalui puisi-puisinya bahwa yang ia lakukan dalam kumpulan puisi “Hikayat
Sunyi” ini adalah suatu upaya menulis puisi tanpa kata-kata bombastis, seperti
“pengakuannya” dalam puisi Cerita tentang Gerimis;
Dalam lelahku menulis sajak
Yang cenderung biasa menggunakan kata-kata bombastis
Hari ini aku tidak ingin menggunakannya
Aku ingin pangkas sejenak, keluar dari makamku
Mengalir tanpa tekanan. Tanpa monopoli bahasa.
Suatu upaya yang sangat bisa diperdebatkan, mengingat
puisi meskipun bukan hal bombastis tapi punya daya ledak kata yang bisa
dikatakan setingkat atau beberapa tingkat di atas kata-kata yang bisa
dicakapkan, seharusnya. Apalagi dalam puisi Sujud Sungsang, justru Muzammil
Frasdia memperlihatkan betapa daya kata-kata begitu mengagumkan hingga;
Lebih mem(p)esona dari gerombolan binatang yang
berterjunan ke sungai.
Justru, puisi-puisi di dalam buku puisi ini hal-hal
yang bombastis sebagai gambaran dari sebuah kesunyian terasa begitu imajis
meskipun memang terasa kebanalannya. Sebagai penutup, mungkin ini yang bisa
mewakili “niat-ingsun” Muzammil Frasdia mengapa masih bersetia menulis puisi,
puisi Kutulis Lagi Puisi
mengisyaratkan bahwa berpuisi baginya adalah suatu ibadah, dan tujuannya tak
lain adalah untuk meninggikan puisi itu sendiri.
Jakarta, Januari 2017
Komentar