Mengolah Rasa Gelisah dan Menularkan Kesadaran

Mengolah Rasa Gelisah
dan Menularkan Kesadaran
pada Generasi Selanjutnya


Judul Buku : Mata Jaman – sekumpulan sajak
Penulis : Budhi Setyawan, Jumari HS, Sosiawan Leak
Penerbit : Penerbit Eraqu
Cetakan : I, tahun 2011
Tebal : 136 hal.


Dalam teori perkembangan kepribadian Erickson, para penyair yang dilahirkan sebelum tahun 1970 ini sudah pasti berada pada fase ke-7 yaitu fase mereka menumbuhkan upaya-upaya kreatif dan produktif untuk mengarahkan generasi selanjutnya. Dan ini dikarenakan mereka merasa langkah seperti ini sangatlah penting.

Kesadaran semacam ini tentulah tidak timbul baru-baru ini saja, melainkan melalui perjalanan yang panjang, suatu kecemasan atau kegelisahan yang terus menerus. Dan pada akhirnya terbangun semacam kesadaran yang ekstrovert, kesadaran yang mengarah ke luar pribadi masing-masing para penyair ini.

Dan barangkali, ketiga penyair ini juga sudah berhasil memahami apa yang menurut Carl Gustav Jung sebagai ”jiwa” sehingga meskipun mereka berada pada lingkungan yang berbeda-beda, dengan pergumulan yang beragam, tetapi produk keluaran mereka di dalam buku ini seperti ”satu entitas” yang tidak bisa diceraikan yaitu kegelisahan dan keinginan untuk sesuatu yang lebih baik. Baik bagi diri mereka sendiri, lingkungan, bahkan negara ini.

Budhi Setyawan sangat sadar bahwa ”kemasan manis dunia terlalu banyak menipu” (Sajak ”Di Luar Wilayah”) dan merasa ”bukan masanya lagi/kami berdiri di situ” dan baginya ”kini saatnya (kami) di sini/belajar meraih peran sadar” (Sajak Kami Pulang Ketika Mereka Datang). Itulah kegelisahan pertama yang ditampilkan dalam buku ini. Kegelisahan seorang penyair yang mengalami ”pemberontakan di belukar hati” yang ”terjadi berantai sepanjang hari” (Sajak Terkunci di Dalam).

Dengan membebani diri dengan kegelisahan itu, pada akhirnya Budhi Setyawan bisa melihat bahwa ”yang mengepung kota/adalah gunung gunung ambisi/yang datang berpakaian rapi sering berdasi/sikat sana sini” (Sajak Yang Mengepung Kota). Meskipun demikian, dia – mungkin karena sehari-hari berada di lingkungan birokrasi – merasa ”membeku/dalam keterasingan yang endemis” (Sajak Hampa Endemis).

”Kepasrahan” – meski bukan bermaksud menyerah pada keadaan – itu pada akhirnya menimbulkan kesadaran dalam kadar yang tentu berbeda dengan kedua penyair dalam antologi ini, bahwa dia ingin sekedar di”kembalikan (aku) jadi daun/agar puas menatap matahari/melukis sejarah asal usul/(yang) tergambar di dahan ranting” (Sajak Kembalikan Aku Jadi Daun).

Mengamini kenyataan bahwa pada usianya yang menginjak kepala 4 ini sudah pada tahap mengarahkan generasi selanjutnya, Budhi pun melakukan titip pesan dalam sajak ”Untuk Anak Anakku” agar generasi mendatang agar ”terus(lah) ketuk kamar hati mereka.”

Kepasrahan Jumari HS yang merupakan kesadaran batinnya segera dapat tertangkap pada sajak Tasawuf Tembakau I yang menyatakan ”Di sini, hanya kepasrahan yang melipat airmata.” Sekaligus di sana dia sungguh sadar bahwa tak ada kekuatan atau gerakan yang dapat dilakukannya, selain ”mengalirkan kata-kata dalam puisi.”

Maka kemudian yang terjadi selanjutnya adalah mulailah Jumari HS mengalirkan kata-kata dengan lugas. Seperti bisa dibaca pada sajak ”Jakarta”, ”Kemana Mesti Berlindung”, ”Sajak Buah Kuldi”, ”Negeri Preman”, dan ”Negeri Setan.”

Agaknya, Jumari HS juga punya kesadaran bahwa kelugasan itu bukan satu-satunya cara membahasakan kegelisahan. Ada juga bahasa yang lebih melankolik atau romantis. Dia sadar betul hal itu sehingga merasa ”dalam gelisah/ wajah berwarna sendu/aku rindui diri sendiri” (Sajak Dalam Gelisah).

Kegelisahan itu pun menemu takdirnya dan selanjutnya menjadi pesan bahwa yang perlu dilakukan adalah ”(lalu) mengajari cinta/ yang semakin berdenyar di hatiku” dan jika hal itu dilakukan maka ”tiba-tiba aku temukan diriku/berenang dalam ayat-ayat-Nya” (Sajak Tasawuf Cinta). Pesan tentang cinta itulah yang pada akhirnya membuat suatu kepasrahan seperti yang dikandung dalam sajak ”Reinkarnasi Rumput” bahwa tingkat tertinggi kesadaran adalah kepasrahan kepada Tuhan sehingga Jumari HS menyatakan ”Tuhan, jangan biarkan aku sendiri/Engkaulah hidup dan matiku!”

Sosiawan Leak membuka kesadaran pembaca dengan sebuah pertanyaan “hidup kami, milik siapa?” Dan ini suatu pertanyaan yang tentunya akan bisa dijawab oleh kita yang sudah sadar betul ”siapa aku.” Sebab self-knowing adalah bagian kesadaran autonoetic untuk mencapai kesadaran selanjutnya (noetic dan anoetic) menurut Tulving.

Dan seperti di dalam teori kesadaran, selanjutnya, Leak mulai mengemukakan beberapa fakta lingkungan seperti ”Di Sukolilo”, ”Kabar dari Sukolilo” agar pembaca beroleh kesadaran noetic yang berkaitan erat dengan lingkungan, hubungan, peristiwa.

Simak saja beberapa peristiwa nyata yang diangkat Leak seperti ”gayus, monarkhi, bencana, dan sepakbola” (Sajak Jangan Ganggu Tikus), ”video porno, hp model terbaru, cuaca pancaroba” (Sajak Anak Anak Batu), ”buah-buahan import” (Sajak Pertempuran Bapak Ibu),”geng sma (yang) memukuli siswa baru” (Sajak Lari dari Kekerasan), dan masih banyak lagi.

Kesadaran Anoetic pun diperkenalkan oleh Leak dengan memperlihatkan hal-hal yang tidak semestinya terjadi atau terjadi tetapi tidak sesuai dengan harapan seperti ”menyebar huru hara sambil berdoa” (Sajak Tentara Langit), ”sms yang tak sampai (Sajak ”Sorry, Sebagian Teks Hilang...”), ”sempurna bohongnya” (Sajak Negri Sempurna), atau ironi yang dikandung dalam sajak ”Pakdhe Dalijo Mencuri Pot Bunga” karena Pakdhe Dalijo adalah penjaga rumah ibadah, tapi kok mencuri?

Seperti menyampaikan kesimpulan sementara, Leak menyatakan bahwa segala sesuatu itu berkecamuk ”hanya dalam pikiran(nya!)” (Sajak Bu Tante; Mapan di Pikiran), dan meskipun begitu, itu juga adalah suatu perlawanan (terhadap nasib) yang dihargai oleh Leak seperti dalam sajaknya, dia mengatakan, ”kalian;/yang bertahan hidup sia-sia/ketimbang mati tanpa perlawanan/kuakui;/kalian saudaraku” (Sajak Para Maling Saudaraku).

Beberapa pesan moral yang biasa diucap dan diperdengarkan, oleh Leak diolah dengan beragam metafora. Katakanlah pameo ”Hidup itu pilihan” dibahasakan menjadi ”masuk bilik/dan cobloslah sasaran, semau sampeyan!” (Sajak Partai Kolor Ijo), Peribahasa ”buah jatuh tak jauh dari pohonnya” menjadi ”bapakku raja selingkuh/ dan aku, putra mahkotanya!” (Sajak Bapakku Raja Selingkuh).

Dan Leak pada akhirnya pun mengakui adanya suatu kepasrahan setelah proses kesadaran yang dibangun dari awal, bahwa ”para tai kembali berbakti kepada majikannya/ tuan dan nyonya manusia / sebagai air kehidupan!” (Sajak Negri Tai). Artinya, memang perlu ada kesinambungan antara kesadaran, kepasrahan, dan kesadaran pada generasi selanjutnya. Ini semacam pesan yang dirangkai dan diramu dengan cara yang berbeda oleh ketiga penyair dalam buku ini.

Jakarta, 29 Desember 2011.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan-Pesan Subliminal dan Penyair Sebagai Medium

Penyair sebagai Saksi dan/ atau Puisi Sebagai Kesaksian - Ulasan Buku "Nanas Kerang Ungu" Ferdi Afrar

Malaikat Cacat