Memotret Banyuwangi dengan Puisi Pendek

Memotret Banyuwangi
dengan Puisi Pendek

Judul Buku : Haiku Sunrise of Java – Buku Puisi Samsudin Adlawi
Penulis : Samsudin Adlawi
Penerbit : PT. JePe Press Media Utama
Cetakan : I, Desember 2011
Tebal : xxx +110 hal.

Sampai saat ini, masih banyak orang jika bertemu dengan kata ”haiku” maka akan mengaitkannya dengan Matsuo Basho atau Matsuo Kinsaku atau pada akhirnya digelari Matsuo Chuemon Munafusa (1644 – November 28, 1694). Karena memang beliau lah yang dianggap sebagai penemu Haiku. Kaitan dengan Basho, berarti mengaitkan dengan pola yang dijaga ketat oleh haiku itu sendiri. Dalam pengantarnya, Adlawi mengemukakan bahwa haiku yang digubah olehnya adalah kreasi dari haiku ala Basho yang artinya tidak akan tepat seperti haiku Basho.

Hal yang sama telah diungkapkan oleh Jack Kerouac ketika menuliskan American Haiku, bahwa Haiku Amerika bukanlah Haiku Jepang yang terikat dengan aturan 17 suku kata. Bahkan menurut Kerouac, untuk disebut sebagai haiku – puisi itu haruslah sederhana dan terbebas dari apa yang disebutnya sebagai ”tipu daya puitis” dan mencipta gambar kecil dan juga terasa lapang juga anggun seperti Pastorella Vivaldi.

Jorge Luis Borges pun sama seperti Kerouac menulis haiku dengan caranya sendiri, tidak terikat dengan aturan haiku Jepang itu. Dan jika membaca haiku Borges, maka pendapat Kerouac ada benarnya bahwa di dalam sebuah haiku yang harus tetap ada itu sebuah gambaran.

Dan ketika Adlawi mengatakan bahwa haiku-haiku dalam buku ini bertujuan untuk menggambarkan Banyuwangi dengan daya pukaunya yang menawan, tampaknya tujuan itu sangatlah berjodoh dengan identitas haiku itu sendiri yang mengandung sebuah citra/gambar.

Puisi-puisi dalam buku ini dibagi dalam 6 bagian yaitu Pukau Alam yang mencerminkan keindahan daerah-daerah di Banyuwangi, Pukau Budaya yang menceritakan adat istiadat masyarakat Banyuwangi, Pukau Seni yang mengangkat kesenian daerah di Banyuwangi, Pukau Ritual yang kental dengan upacara adat di masyarakat Banyuwangi, Pukau Pendekar yang menggambarkan kepahlawanan beberapa tokoh di Banyuwangi, Pukau Watak yang menggambarkan kondisi psikososio masyarakat Banyuwangi, dan Pukau Kuliner yang tentu saja menceritakan betapa lezat dan nikmat masakan-masakan khas di sana.

Baiklah kita nikmati beberapa haiku ala Adlawi untuk membuktikan betapa Banyuwangi sangat elok;

Plengkung

Ombak bergulung
Diam mematung
Remuk badan tak urung

Ombak berkejaran
Berebut bibir pantai
Pahat keindahan Tuhan

Haiku – seperti dalam pendapat Kerouac atau Borges tadi – seolah-olah potret yang disajikan dengan anggun, ada pun perasaan (yang biasanya sering timbul dalam puisi biasa) dibiarkan tersembunyi dan biarlah pembaca yang menemukannya. Namun Adlawi mengemukakan perasaannya dengan jelas dalam kalimat ”remuk badan tak urung.

Mari bandingkan dengan milik Borges yang menggambarkan seseorang yang terbaring dalam peti mati berikut:

The man's dead.
His beard and nails grow.
They don't know.

Obyek dalam puisi digambarkan detail – janggut dan kukunya tetap tumbuh meskipun orang itu sudah mati. Dan penekanan yang menjelaskan perasaan di dapat dalam kalimat “mereka tidak tahu.” Mereka tidak tahu bahwa orang itu sudah mati sehingga mereka tetap tumbuh. Pembaca bisa menemukan perasaan bahwa kematian seseorang bisa saja dilupakan atau dikesampingkan.

Atau bandingkan dengan haiku ala Kerouac berikut:

No telegram today
only more leaves
fell.

Ada perasaan kerinduan pada seseorang yang digambarkan dengan kalimat “Tidak ada telegram hari ini” lalu obyek lain seolah mewakili dan menggenapi kerinduan itu dengan perlambang musim atau kepasrahan ”hanya ada dedaunan yang lebih sering gugur.”

Begitulah perasaan disembunyikan oleh kedua penyair itu dengan memakai hal-hal yang diinderanya (lewat mata). Hal ini bukan semata-mata kreasi dari Kerouac atau Borges melainkan inherent dari apa yang telah dipelopori oleh Basho dalam haiku-nya:

furu ike ya
kawazu tobikomu
mizu no oto

Yang saya terjemahkan bebas menjadi : ”sebuah telaga tua/ seekor katak mencebur /bercipratan air.” Tak ada perasaan yang jelas dituliskan di sana. Semuanya yang diindera dijelaskan dengan apa adanya tanpa dipadupadankan dengan perasaan yang bersaksi. Pembaca lah yang kemudian bisa menarik semacam kesimpulan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam gambar itu.

Dalam haiku ”Plengkung” di atas, justru bait kedua yang masuk ke dalam definisi yang didapatkan oleh Basho, Kerouac, atau Borges. Pembaca bisa merasa kagum dan terbebas dari ”remuk badan” ketika melihat ”Ombak berkejaran/merebut bibir pantai/(dan) pahat keindahan Tuhan.”

Tetapi, barangkali, inilah yang disebut oleh Adlawi sebagai kreasi dari kreasi haiku Basho. Haiku dengan perasaan yang terlihat dan tertulis jelas. Karena bila kita lihat seperti pada ”Seblang” justru perasaan dari penulis yang mengemuka di bait pertama: Untuk apa / menari ketika / tak sadar diri.

Demikian juga pada ”Bingkak” yang mengatakan: Tak peduli / siapa kau / kita sama saja atau pada ”Rujak Soto 1” yang memuat: Bukan di logika / tapi lidah tempat / dia bertahta.

Bisa jadi, Adlawi memang belum tuntas untuk mengkreasikan apa yang menurutnya sebagai haiku ala dirinya, karena pada banyak judul dia justru tunduk pada definisi yang diamini Kerouac dan Borges itu. Lihatlah pada ”Angklung” yang berisi: Di tangan wiyaga / bambu mati / menjelma bunyi, atau pada ”Gedhogan” berikut: Alu cumbui lesung / meramu irama merdu / menelanjangi tubuh padi.

Meskipun demikian, sebagai gambaran yang kuat atas apa dan bagaimana Banyuwangi, puisi-puisi pendek ini sudah menjadi semacam ensiklopedia bagi mereka yang belum pernah bertandang ke sebuah tempat di ujung timur Pulau Jawa.

Jakarta, 29 Desember 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan-Pesan Subliminal dan Penyair Sebagai Medium

Penyair sebagai Saksi dan/ atau Puisi Sebagai Kesaksian - Ulasan Buku "Nanas Kerang Ungu" Ferdi Afrar

Malaikat Cacat