Meraba Dinding Imajiner Dunia Perempuan Melalui Kabin Pateh
Lewat kumpulan cerpen “Kabin
Pateh” yang berarti Kawin Patih dalam bahasa Madura, Weni Suryandari tengah
menjalankan beberapa hal yaitu; 1. menceritakan seluk beluk perempuan dalam
artian peperangan batin sebagai mana tercermin di cerpen “Pelacur untuk Suamiku”
yang seolah-olah berbicara mewakili beberapa peran para istri di dalam
kehidupan berumah-tangga, 2. membawa cerita duka perempuan mulai dari mencari pasangan
(tergambar dalam cerpen “Aku Bukan Bangsawan”, “Kabin Pateh”, “Juleha”, “Kawin
Darah”), menjadi korban KDRT dari pasangannya (seperti dalam cerpen “Bau”, “Kematian
Raja”, “Minah”), atau menjadi korban dari konflik dalam keluarganya
(terceritakan dalam cerpen “Kabin Pateh”, “Juleha”, “Telapak Kaki Ibu”, “Putri
dan Akuariumnya”), dan 3. menyoroti hal-hal yang “tidak normal” dalam kehidupan
bermasyarakat seperti dalam cerpen “Mamak” yang mengisahkan bagaimana seorang
kakak harus bertanggungjawab penuh meskipun memaksa dirinya pada kondisi yang
terbatas untuk “memudahkan” kehidupan adiknya, atau “Pungli” yang memotret
bagaimana lumrahnya pungutan dari oknum aparat, atau bahkan “Warisan” yang
mengetengahkan bagaimana pandangan dan pertikaian yang terjadi antara anak-anak
dari istri pertama terhadap istri kedua dari ayahnya.
Tadinya, saya ingin sekali
menafikan bahwa Weni dan Kabin Patehnya itu bukan suatu hal yang berkaitan erat
dengan gender perempuan, saya ingin menganggapnya sebagai karya yang bukan
ditulis oleh seorang perempuan dan tentang perempuan, tetapi saya teringat
sebuah hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Muslim yang mengatakan bahwa “Perempuan adalah tiang negara jika perempuannya
baik maka baiklah negaranya, dan apabila perempuannya rusak, maka hancurlah
negaranya.” Maka Weni dan Kabin Patehnya ini bukan lagi bicara soal perempuan
tetapi sudah bicara tentang bangsa ini secara umum.
Dalam cerita pewayangan, adalah
Srikandi yang dikatakan sebagai tokoh perempuan sekaligus laki-laki karena
ketangkasannya dalam bertarung, maka kemudian kalau seorang perempuan menguasai
hal yang biasanya dilakukan laki-laki sering dijuluki sebagai Srikandi. Namun dalam
referensi lain, saya pernah membaca bahwa sebetulnya Srikandi itu seorang yang
dilahirkan sebagai laki-laki tetapi pada akhirnya bisa menjadi seorang
perempuan, dan bagi saya dia sungguh beruntung karena sebagai laki-laki dia
bisa memasuki dunia perempuan seutuhnya, bukan cuma fisik tetapi juga psikis.
Dunia yang sangat kompleks itu.
Tapi untunglah, ada seorang
perempuan bernama Weni Suryandari yang menuliskan kumpulan cerpen Kabin Pateh
ini. Lewat Kabin Pateh, saya sebagai laki-laki tidak perlu menjadi Srikandi, untuk
bisa mendapatkan gambaran mengenai kotak imajiner yang “membatasi” ruang gerak
seorang perempuan yaitu orang tua –terlebih sosok Ibu, adat istiadat (dalam hal
ini juga agama dan nilai-nilai moralitas), sanak saudara / keluarga dalam hal
ini termasuk pasangan, dan ada tidaknya dukungan terhadap eksistensi dirinya
seperti materi, status sosial, pendidikan atau pekerjaan. Sayangnya, meskipun
kotak imajiner itu berfungsi untuk membatasi, tetapi juga mendukung sepenuhnya kondisi
dari seorang perempuan. Kehilangan salah satu saja, akan menimbulkan masalah
bagi perempuan itu. Meskipun menjadi masalah atau tidak bisa digali lebih
lanjut.
Salah satu contoh dalam cerpen
Putri dan Akuariumnya ketika seorang perempuan dalam hal ini Putri yang kehilangan
perhatian atau dukungan dari orang tua (yaitu ibu kandungnya) maka ketika dia berkali-kali
mengalami pelecehan seksual oleh laki-laki di lingkungan keluarganya, dia mengalami
keputusasaan dan akhirnya memilih bunuh diri. Atau ketika Ariani dalam cerpen
Aku Bukan Bangsawan bersikeras untuk berpacaran dengan Rusdi pada akhirnya
limbung dan merasa bersalah mendapati ibunya menderita serangan jantung.
Nilai-nilai adat, meskipun di
dunia yang katanya sudah sophisticated ini, juga punya andil yang cukup kuat
seperti digambarkan secara baik dalam cerpen yang menjadi judul kumpulan ini
yaitu Kabin Pateh. Juga menjadi pertentangan batin yang cukup kuat bagi Farida
sebelum akhirnya memutuskan untuk membakar Raja dan Linda alias madunya. Dan
ketika nilai-nilai adat atau moral itu hilang, seperti dalam cerpen Dendam Asih,
yang terjadi adalah sesuatu yang diluar dugaan! Seperti Asih yang bersikeras
untuk ditiduri oleh ayahnya sendiri.
Dukungan pasangan atau
keluarga, tentu akan memberikan faktor keberhasilan dan sebaliknya jika
pasangan atau keluarga tidak mendukung langkah-langkah. Namun rasanya hal ini
berlaku sama untuk pihak laki-laki. Namun bedanya adalah (biasanya) laki-laki cenderung
akan “lari” terhadap permasalahan seperti ini, dan efeknya yang dialami
perempuan. Contoh ketika Pak Ribut melarikan diri dari tanggungjawabnya yang
terjadi adalah kematian bayi dan ibunya yang menjadi hantu berbau busuk, atau
seperti Johan yang pada akhirnya menyebabkan Minah juga mengalami kejadian yang
hampir sama.
Namun, ketika perempuan
mendapatkan dukungan lain seperti pekerjaan yang baik atau pendidikan yang
tinggi, perempuan bisa meminimalisir masalah atau malah mendapat keuntungan
dari masalah yang terjadi seperti tokoh Diana dalam cerita Pelacur untuk
Suamiku, atau tokoh Rosma dalam cerita Mamak. Meskipun dalam kedua cerita itu,
masih terlihat adanya kepatuhan mereka terhadap bagian-bagian lain dari kotak
imajiner tadi, seperti Rosma terhadap ibunya, dan Diana terhadap suaminya.
Di sisi lain, Weni melalui
Kabin Pateh juga mengangkat masalah-masalah yang sudah menjadi “penyakit” dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara ini yaitu korupsi, dalam hal ini secara jelas
menjadi judul cerpen “Pungli.” Yang menarik lagi, cerpen ini diceritakan seolah
terjadi dan menimpa siapa saja sehingga tak ada tokoh utama selain petugas yang
berpidato panjang lebar yang ujung-ujungnya adalah menginginkan sesuatu yang
tak lain dan tak bukan adalah pungutan liar itu. Yang lainnya? Hanya bisa
mempertanyakan hal itu bisa terjadi dan memperbincangkan belaka tanpa ada
tindakan seperti yang benar terjadi dalam kehidupan nyata.
Cerita lainnya adalah konflik
yang terjadi ketika seorang suami beristri lebih dari satu di dalam cerpen Warisan.
Saya menduga ini pandangan yang mewakili orang-orang yang mempertanyakan
mengenai poligami, tetapi dengan sudut pandang berbeda. Bukan seperti Farida
yang dimadu dengan Linda dalam cerpen Kematian Raja, tetapi lebih jauh bertanya
atas sikap “boleh poligami asal adil” yang biasanya hanya pada istri-istri dari
seorang pria, belum sampai soal anak-anak dari istri-istri itu. Weni bisa jadi
menggambarkan bagaimana anak-anak dari istri tua memusuhi istri muda ayahnya
dan anaknya karena kekurangdekatan hubungan mereka, hanya dari awal yang
dibesarkan adalah bagaimana ayah mereka yaitu Pak Tajudin bersikap selama
hidupnya baik kepada ibu mereka atau mereka sendiri. Sehingga dalam cerpen itu
menyisakan persoalan tersendiri di akhir cerita yang seolah-olah merupakan
sinisme terhadap perempuan-perempuan yang mau diperistri oleh laki-laki yang
sudah beristri. Apakah benar seperti Ruminem mereka hanya mengincar harta
belaka? Uniknya, hal ini juga tampak ketika Diana menginterogasi Rani
Lestyoningrum yang tengah didekati oleh Ghazali, suami Diana.
Dengan melihat batasan-batasan
dari kotak imajiner yang memperlemah sekaligus memperkuat kedudukan dan
eksistensi seorang perempuan dalam kumpulan cerpen Kabin Pateh ini, agaknya
Weni memang sedang mempermainkan batasan-batasan itu dan membuat tarik ulur
antara pihak laki-laki dan perempuan mengenainya. Sehingga pembaca – laki-laki
atau perempuan – mulai memikirkan hubungan yang ideal yang tidak menjadikan
batasan itu sebagai kungkungan terhadap perempuan tetapi sebagai suatu
faktor-faktor yang mendukung eksistensi seorang perempuan, baik saudara, teman
atau pasangannya.
Jakarta, 23 April 2013.
Komentar