Mengembangkan Kemampuan Diri Demi Sebuah Darma Bakti


Judul : Tanril. Volume 1. Novel Silat – Epik Ho Wuan Siang

Penulis : Nafta S. Meika

Editor : Aries Rayaguna Prima

Penerbit : Andal Krida Nusantara, PT. (Akoer)

Cetakan 1: Agustus, 2008

Halaman : 405


Tanril yang artinya Kolam Api adalah seseorang yang bisa disebut ajaib karena ada dalam satu per sepuluh juta kelahiran! Keajaiban yang dimiliki oleh seorang “Tanril” ini adalah jumlah chi pasif yang luar biasa sehingga tenaga itu bisa meluap dan mengancam nyawanya.


Dengan keadaan seperti itu, wajar jika seorang Wander Natalez Howard sejak kecil menderita sakit yang berkepanjangan. Hanya beberapa keajaiban pula yang membuatnya mampu bertahan hidup bahkan pada akhirnya menjadi seorang pendekar dengan ilmu silat dan tenaga yang sangat hebat.


Wander yang juga disebut Wuan itu tidak pernah menyadari keajaiban yang ada pada dirinya. Dengan setting sebuah kerajaan yang diambang perpecahan, Novel ini mengambil sudut pandang orang ketiga. Pengarang betul-betul menjadi dalang dari cerita ini dari awal hingga akhir, kecuali pada bagian awal pengarang mengambil sudut pandang dari si tokoh utama. Secara keseluruhan, novel ini dibangun dengan banyak dialog antara tokoh-tokohnya yang mengingatkan pembaca pada kejayaan cerita silat di tanah air.


Tema besar dari Novel Tanril volume 1 ini beranjak dari perang saudara dan bagaimana Wander mengatasi keajaiban di dalam dirinya hingga pada akhirnya tenaga chi yang meluap itu dapat ia arahkan pada bela diri (di novel ini disebut arts, mungkin kependekan dari Martial Art) yang pada sebagian besar masa lalunya tidak pernah diajarkan siapapun kepadanya.


Di luar tema sentral itu, Nafta S. Meika sebagai pengarang nampaknya mencoba bercerita tentang darma bakti seorang anak terhadap ibundanya, seorang adik terhadap kakak, dan seseorang terhadap sahabatnya yang berulangkali menyelamatkan dirinya. Sesuatu yang sekarang ini jarang diangkat oleh penulis-penulis muda.


Hal yang cukup menganggu pembacaan novel ini adalah banyaknya istilah dan penamaan yang dibentuk dengan campur aduk kata yang mirip-mirip bahasa Cina (Wuan, Luan, Chi, Jie Bi Shinjin) , India (Divara, Moharan, Sulran, Manjare), dan Inggris / Barat (Kurt, Wander, Howard, Landross, Rinveal), juga ada sedikit pengaruh Jepang (Fyure, Kokru, dll.). Ilustrasi cincin Naga di sampul depan dan petikan adegan yang sangat kental warna Cina-nya tidak bisa membantu pembaca untuk mengira-ngira di manakah kisah ini terjadi.


Di novel ini juga para pesilat (maksudnya pengamal ilmu beladiri) disebut sebagai Pengejar Mimpi. Entah kenapa dinamakan demikian oleh Pengarangnya, sebab bukankah kebanyakan orang juga mengejar mimpinya sendiri? Kerancuan bermacam istilah juga tidak dipertelakan dengan baik. Misalnya kenapa Putri Pangeran Kedua diberi julukan dengan nama-nama sungai, atau bahkan kenapa Wander Natalez Howard sering dipanggil Wuan.


Membuat istilah, penamaan orang, kota, dan daerah serta mempertelakan dengan baik hal-hal itu nampaknya masih menjadi kendala bagi penulis-penulis fiksi di tanah air. Mungkin dengan mengembangkan dasar pengetahuan mitologi, sejarah lokal, dan lain-lain akan dapat memperbaiki permasalahan ini.


Keberhasilan Wander Natalez Howard mempertahankan kota kelahirannya dari serbuan pasukan Jenderal Moharan, belum berhasil menceritakan evolusi tenaga chi dengan apik, padahal Tanril sebagai judul tentunya menjadi hal yang paling esensial dalam novel ini. Dan sangat disayangkan jika pengarang memutuskan untuk membongkar rahasia Tanril itu lewat surat yang isinya sangat panjang itu.

Komentar

Nafta S. Meika mengatakan…
Terima kasih atas komentarnya :D

Semoga menikmati volume volume selanjutnya :D

Pengembangan sejarah lokal bukanlah fokus dari novel pertama :D

Postingan populer dari blog ini

Pesan-Pesan Subliminal dan Penyair Sebagai Medium

Penyair sebagai Saksi dan/ atau Puisi Sebagai Kesaksian - Ulasan Buku "Nanas Kerang Ungu" Ferdi Afrar

Malaikat Cacat